CATATAN HASIL
KUNJUNGAN KE MANIS LOR KUNINGAN JAWA BARAT
Dalam rangka peningkatan
pemahaman keberagaman dan keberagamaan islam rahmatalil ‘alamin DPP AGPAII dan
DPD Tangsel dan Bekasi melakukan
kunjungan ke Kuningan tepatnya di Kelurahan Manis Lor di mana mayoritas
warganya menganut Aliran Ahmadiyah.
Dilihat dari sejarahnya
sebagaimana paparan yang disampaikan sesepuh Ahmadiyah Manis Lor Bpk Nur Halim bahwa Ahmadiyah masuk Indonesia
Tahun 1925 dan Rahmat Ali menjadi tokoh
penting dalam sejarah perkembangan Ahmadiyah di Indonesia dan sejak tahun 1931 Ahmadiyah berkembang pesat di
pulau Jawa sedangkan Ahmadiyah masuk ke Manis Lor Kuningan Jawa Barat Tahun
1953.
Kontroversi menyangkut aliran
Ahmadiyah telah berubah menjadi kekerasan yang mendatangkan kerugian termasuk terjadi pembakaran tempat ibadah .
Kekerasan ini ditengarai
bersumber dari perbedaan doktrin Sunni atau Ahli Sunnah walJamaah yang dianut
oleh mayoritas kaum Muslim Indonesia dengan doktrin Ahmadiyah mengenai status
atau kedudukan Nabi Muhammad vis a vis Mirza Ghulam Ahmad. Bagi kaum muslim
Sunni, Nabi Muhammad ialah nabi terakhir yang diutus Tuhan, dan tidak ada nabi
lagi setelahnya. Sementara bagi penganut aliran Ahmadiyah, yang biasa disebut
Ahmadi, Mirza Ghulam Ahmad adalah juga seorang nabi utusan Tuhan, walaupun
tidak membawa syariat baru. Pengikut Sunni tidak dapat menerima doktrin
kenabian Mirza Ghulam Ahmad, bagaimanapun penjelasannya. Pengakuan adanya nabi
setelah Muhammad itulah yang menjadi sumber kontroversi di kalangan kaum Muslim
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan belakangan merebak menjadi
kekerasan berdarah dan menjurus pada pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM).
Padahal dalam aliran Ahmadiyah itu
sendiri memiliki perbedaan pandangan tentang kenabian. Aliran Lahore
berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir atau penutup para
nabi (khatam an-Nabiyyin), artinya sesudah beliau tidak akan datang nabi lagi,
baik nabi lama maupun nabi baru. Sedangkan aliran Qadian berpandangan bahwa
kata khatam dalam ayat tersebut di atas tidak sama artinya dengan kata khatim.
Kata khatim berarti penghabisan, sedang kata khatam berarti stempel, bukan
berarti menutup. Dan stempel tersebut dipergunakan untuk mensyahkan sesuatu.
Terlepas dari debatebel tentang
keahmadiyahan Kami beruntung
berkesempatan mengunjungi secara langsung dan berdialog ditengah-tengah
masyarakat serta ikut sholat berjamah
dengan mereka. Kunjungan kami ini merupakan rangkaian kegiatan workshop untuk Peningkatan pemahaman keberagaman dan
keberagamaan islam yang rahmatalil
‘alamin . Kegiatan ini dengan tujuan untuk mengetahui dengan berdialog secara langsung seputar konflik, kekerasan, perdamaian, dan
persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) yang menimpa jemaat Ahmadiyah.
Berdasarkan dialog yang kami lakukan dengan pihak Ahmadiyah, terungkap bahwa
awalnya organisasi keagaman ini tidak mengalami masalah dengan masyarakat dari
tahun berdirinya 1953 sampai tahun 1980. Masalah baru muncul setelah Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) Tahun 1980 mengeluarkan
fatwa bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta
orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Bagi mereka
yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran
Islam yang haq, yang sejalan dengan al-Quran dan Hadis.
Pemerintah melarang penyebaran
faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup
semua tempat kegiatannya. Menurut pihak Ahmadiyah, selain fatwa MUI tersebut
juga ada pendekatan-pendekatan dari luar negeri, terutama Saudi Arabia, ke
Indonesia mengenai kesesatan Ahmadiyah. Sehingga pada tahun 2004, terjadi penganiayaan
jemaat Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan
bahkan terjadi pembakaran tempat ibadah mereka. Mereka mengekspresikan
kemarahan atas penodaan yang dilakukan oleh para penganut Ahmadiyah, yakni
penodaan terhadap Allah, Rasul, dan kemurnian akidah Islam. Islam yang suci
harus dibela dari tangan-tangan kotor yang bermaksud jahat ingin menghancurkan
Islam dari dalam. Jadi, bentuk-bentuk kekerasan massa itu merupakan suatu
ekspresi kekhawatiran dan pembelaan pada agama yang dianutnya; masyarakat tidak
menginginkan adanya penyebaran-penyebaran faham-faham yang sesat atau
menyimpang, serta merasa berkewajiban melindungi masyarakat lainnya.
Lurah Manis Lor dalam paparannya mengharapkan adanya perlindungan dari pihak
pemerintah karena mereka juga merupakan warga negara. Secara kemanusiaan,
mereka menuntut kembali hak-hak asasi mereka yang dilindungi oleh Konstitusi seperti
tempat ibadat mereka disegel oleh aparat. Hak-hak sipil juga dirampas,
contohnya hak menikah dalam status warga negara Indonesia. Mereka dilarang
menikah dengan memiliki buku nikah dari kantor urusan agama (KUA). Warga
Ahmadiyah juga dilarang membuat KTP sebagai warga negara Indonesia.
Tuduhan bahwa Ahmadiyah sesat
juga membuat kegiatan sosialisasi mereka terganggu. Anak-anak mereka sulit
bersekolah karena terjadinya pem-bully-an bagi anak-anak Ahmadiyah. Status
sebagai pengikut Ahmadiyah juga menyulitkan mereka dalam mendapatkan pekerjaan.
Dampak yang sangat terasa oleh jemaat Ahmadiyah khususnya kaum wanita dan
anak-anak adalah luka fisik dan beban mental.
Inilah yang dirasakan dan yang dialami warga Ahmadiyah di Manis Lor
sebagaimana yang dipaparkan oleh pak Lurah Manis Lor. Mereka berharap sebagai warga
Negara yang memiliki hak yang sama ini tidak akan terjadi , hak-hak mereka
harus dipenuhi oleh Negara. Tetapi jika dilihat sepertinya ini perlu waktu dan usaha untuk
memperjuangkannya meskipun sejauh ini
tampaknya tidak mudah mewujudkan hal itu menginginkan keberadaan mereka bahkan menolak
keberadaan Ahmadiyah ditengah-tengah.
Analisis Kasus Kekerasan
Kekerasan yang terjadi pada Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau JAI secara mendasar
mengarah pada dua persepsi. Pertama, bagi kelompok yang ingin JAI dibatasi
gerakannya atau bahkan dibubarkan, melihat JAI sebagai sebuah urusan kesesatan
agama. Kedua, bagi mereka yang tidak setuju JAI dibubarkan, melihat isu ini
sebagai urusan hukum, baik itu menyangkut keberadaan JAI maupun pelanggaran
hukum yang tampak dalam konflik JAI. Permasalahan yang kemudian juga muncul
adalah, ketika kita masih berkutat pada pernyataan bahwa ini merupakan isu
penodaan atau penyimpangan agama tentu
kekerasan ini tidak akan pernah usai. Karena secara mendasar kedua aspek tersebut dimungkinkan
memang turut serta dalam kekerasan yang terjadi.
Sebagai solusi dalam hal ini Pemerintah
harus menjalankan perannya sebagai
“memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya
pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan
menyimpang”. Dilain pihak dialog yang konstruktif dan saling menghormati harus
dibangun.Jauhkan sifat saling mencurigai dan mau menang sendiri. Keduanya harus
terbuka dengan mengedepankan kemaslahaan. Masjid Ahmadiyah harus terbuka untuk umum, dalam arti siapa pun boleh
memasukinya, termasuk melakukan ibadah ritual seperti shalat.
Perbedaan baru terlihat saat dialog
berlangsung, yang intinya berdasarkan keyakina kami bahwa Imam Mahdi yang dijanjikan Allah akan
datang di akhir zaman untuk meluruskan agama Allah dan menegakkan kebenaran
serta keadilan. Sementara jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Imam Mahdi itu sudah
datang, dalam wujud Hz Mirza Ghulam Ahmad. C.
Sebagai catatan dari kunjungan ini
adalah bahwa meskipun kita tahu bahwa
Ahmadiyah itu sesat, bukanlah wewenang kita untuk menghakiminya, dan tidak
seharusnya pula kita menindak mereka dengan kekerasan, karena kita dengan
mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara yang dilindungi dan dijamin
oleh konstitusi negara kita. Umpamanya saja ada orang tersesat jalan hendak ke Cirebon
namun justru pergi ke Banten, apakah kita akan memukuli orang tersebut? Tugas
kita hanyalah menunjukkan jalan menuju Cirebon. Apakah dia akan menerima arahan
kita atau tidak, itu urusan dia. Betapapun sesatnya Ahmadiyah dilihat dari
akidah Sunni, mereka tetaplah organisasi yang memiliki legalitas dan dasar
hukum. Dan sebagai negara hukum, hendaknya segenap warga negara berperilaku dan
bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak main hakim sendiri, apalagi
dengan jalan kekerasan. Kekerasan yang mengatasnamakan Islam dapat menimbulkan
citra buruk Islam dimata dunia sebagai agama penebar teror dan anarki. Apalagi
kita bangsa Indonesia sejak dulu terkenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi
toleransi. Dan kita memiliki Bhinneka Tunggal Ika, sebagai pijakan hidup
bersama secara rukun dan damai di dalam perbedaan-perbedaan. Sudah banyak
contoh negara-negara lain belajar kepada kita dalam hal mengelola perbedaan.
Sering dikatakan dalam perbandingan bahwa negara-negara Arab adalah satu bangsa
dan satu bahasa (bangsa dan bahasa Arab) namun mereka terpecah menjadi puluhan
negara. Sebaliknya, bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa dan
bahasa, namun bersatu di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini
merupakan anugerah dan rahmat Allah SWT yang harus kita syukuri dan pelihara
bersama.