Senin, 08 Agustus 2016

CATATAN KUNJUNGAN KE MANIS LOR KUNINGAN JAWA BARAT

CATATAN HASIL KUNJUNGAN KE MANIS LOR KUNINGAN JAWA BARAT

Dalam rangka peningkatan pemahaman keberagaman dan keberagamaan islam rahmatalil ‘alamin DPP AGPAII dan DPD Tangsel dan Bekasi  melakukan kunjungan ke Kuningan tepatnya di Kelurahan Manis Lor di mana mayoritas warganya menganut Aliran Ahmadiyah.
Dilihat dari sejarahnya sebagaimana paparan yang disampaikan sesepuh Ahmadiyah Manis Lor  Bpk Nur Halim bahwa Ahmadiyah masuk Indonesia Tahun 1925 dan  Rahmat Ali menjadi tokoh penting dalam sejarah perkembangan Ahmadiyah di Indonesia dan  sejak tahun 1931 Ahmadiyah berkembang pesat di pulau Jawa sedangkan Ahmadiyah masuk ke Manis Lor Kuningan Jawa Barat Tahun 1953.
Kontroversi menyangkut aliran Ahmadiyah  telah berubah menjadi kekerasan   yang mendatangkan kerugian termasuk  terjadi pembakaran tempat ibadah .


                Kekerasan ini ditengarai bersumber dari perbedaan doktrin Sunni atau Ahli Sunnah walJamaah yang dianut oleh mayoritas kaum Muslim Indonesia dengan doktrin Ahmadiyah mengenai status atau kedudukan Nabi Muhammad vis a vis Mirza Ghulam Ahmad. Bagi kaum muslim Sunni, Nabi Muhammad ialah nabi terakhir yang diutus Tuhan, dan tidak ada nabi lagi setelahnya. Sementara bagi penganut aliran Ahmadiyah, yang biasa disebut Ahmadi, Mirza Ghulam Ahmad adalah juga seorang nabi utusan Tuhan, walaupun tidak membawa syariat baru. Pengikut Sunni tidak dapat menerima doktrin kenabian Mirza Ghulam Ahmad, bagaimanapun penjelasannya. Pengakuan adanya nabi setelah Muhammad itulah yang menjadi sumber kontroversi di kalangan kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan belakangan merebak menjadi kekerasan berdarah dan menjurus pada pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM).
                Padahal dalam aliran Ahmadiyah itu sendiri memiliki perbedaan pandangan tentang kenabian. Aliran Lahore berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir atau penutup para nabi (khatam an-Nabiyyin), artinya sesudah beliau tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Sedangkan aliran Qadian berpandangan bahwa kata khatam dalam ayat tersebut di atas tidak sama artinya dengan kata khatim. Kata khatim berarti penghabisan, sedang kata khatam berarti stempel, bukan berarti menutup. Dan stempel tersebut dipergunakan untuk mensyahkan sesuatu.
Terlepas dari debatebel tentang keahmadiyahan Kami beruntung  berkesempatan mengunjungi secara langsung dan berdialog ditengah-tengah masyarakat  serta ikut sholat berjamah dengan mereka. Kunjungan kami ini merupakan rangkaian kegiatan workshop untuk  Peningkatan pemahaman keberagaman dan keberagamaan islam yang  rahmatalil ‘alamin . Kegiatan ini dengan tujuan untuk mengetahui dengan  berdialog secara langsung  seputar konflik, kekerasan, perdamaian, dan persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) yang menimpa jemaat Ahmadiyah. Berdasarkan dialog yang kami lakukan dengan pihak Ahmadiyah, terungkap bahwa awalnya organisasi keagaman ini tidak mengalami masalah dengan masyarakat dari tahun berdirinya 1953 sampai tahun 1980. Masalah baru muncul setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) Tahun 1980 mengeluarkan fatwa bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq, yang sejalan dengan al-Quran dan Hadis.
Pemerintah melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Menurut pihak Ahmadiyah, selain fatwa MUI tersebut juga ada pendekatan-pendekatan dari luar negeri, terutama Saudi Arabia, ke Indonesia mengenai kesesatan Ahmadiyah. Sehingga pada tahun 2004, terjadi penganiayaan jemaat Ahmadiyah di Manis Lor  Kuningan bahkan terjadi pembakaran tempat ibadah mereka. Mereka mengekspresikan kemarahan atas penodaan yang dilakukan oleh para penganut Ahmadiyah, yakni penodaan terhadap Allah, Rasul, dan kemurnian akidah Islam. Islam yang suci harus dibela dari tangan-tangan kotor yang bermaksud jahat ingin menghancurkan Islam dari dalam. Jadi, bentuk-bentuk kekerasan massa itu merupakan suatu ekspresi kekhawatiran dan pembelaan pada agama yang dianutnya; masyarakat tidak menginginkan adanya penyebaran-penyebaran faham-faham yang sesat atau menyimpang, serta merasa berkewajiban melindungi masyarakat lainnya.
Lurah Manis Lor dalam paparannya  mengharapkan adanya perlindungan dari pihak pemerintah karena mereka juga merupakan warga negara. Secara kemanusiaan, mereka menuntut kembali hak-hak asasi mereka yang dilindungi oleh Konstitusi seperti tempat ibadat mereka disegel oleh aparat. Hak-hak sipil juga dirampas, contohnya hak menikah dalam status warga negara Indonesia. Mereka dilarang menikah dengan memiliki buku nikah dari kantor urusan agama (KUA). Warga Ahmadiyah juga dilarang membuat KTP sebagai warga negara Indonesia.
Tuduhan bahwa Ahmadiyah sesat juga membuat kegiatan sosialisasi mereka terganggu. Anak-anak mereka sulit bersekolah karena terjadinya pem-bully-an bagi anak-anak Ahmadiyah. Status sebagai pengikut Ahmadiyah juga menyulitkan mereka dalam mendapatkan pekerjaan. Dampak yang sangat terasa oleh jemaat Ahmadiyah khususnya kaum wanita dan anak-anak adalah luka fisik dan beban mental.                           
Inilah yang dirasakan dan  yang dialami warga Ahmadiyah di Manis Lor sebagaimana yang dipaparkan oleh pak Lurah Manis Lor. Mereka berharap  sebagai warga Negara yang memiliki hak yang sama ini tidak akan  terjadi , hak-hak mereka harus dipenuhi oleh Negara. Tetapi jika dilihat sepertinya ini perlu waktu dan usaha untuk memperjuangkannya meskipun  sejauh ini tampaknya tidak mudah mewujudkan hal itu menginginkan keberadaan mereka bahkan menolak keberadaan Ahmadiyah ditengah-tengah.
Analisis Kasus Kekerasan Kekerasan yang terjadi pada Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau JAI secara mendasar mengarah pada dua persepsi. Pertama, bagi kelompok yang ingin JAI dibatasi gerakannya atau bahkan dibubarkan, melihat JAI sebagai sebuah urusan kesesatan agama. Kedua, bagi mereka yang tidak setuju JAI dibubarkan, melihat isu ini sebagai urusan hukum, baik itu menyangkut keberadaan JAI maupun pelanggaran hukum yang tampak dalam konflik JAI. Permasalahan yang kemudian juga muncul adalah, ketika kita masih berkutat pada pernyataan bahwa ini merupakan isu penodaan atau penyimpangan agama  tentu kekerasan ini tidak akan pernah usai. Karena secara  mendasar kedua aspek tersebut dimungkinkan memang turut serta dalam kekerasan yang terjadi.
Sebagai solusi dalam hal ini Pemerintah harus menjalankan  perannya sebagai “memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang”. Dilain pihak dialog yang konstruktif dan saling menghormati harus dibangun.Jauhkan sifat saling mencurigai dan mau menang sendiri. Keduanya harus terbuka dengan mengedepankan kemaslahaan. Masjid Ahmadiyah harus terbuka  untuk umum, dalam arti siapa pun boleh memasukinya, termasuk melakukan ibadah ritual seperti shalat.
 Perbedaan baru terlihat saat dialog berlangsung, yang intinya berdasarkan keyakina kami  bahwa Imam Mahdi yang dijanjikan Allah akan datang di akhir zaman untuk meluruskan agama Allah dan menegakkan kebenaran serta keadilan. Sementara jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Imam Mahdi itu sudah datang, dalam wujud Hz Mirza Ghulam Ahmad. C.

Sebagai catatan dari kunjungan ini adalah bahwa meskipun  kita tahu bahwa Ahmadiyah itu sesat, bukanlah wewenang kita untuk menghakiminya, dan tidak seharusnya pula kita menindak mereka dengan kekerasan, karena kita dengan mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara yang dilindungi dan dijamin oleh konstitusi negara kita. Umpamanya saja ada orang tersesat jalan hendak ke Cirebon namun justru pergi ke Banten, apakah kita akan memukuli orang tersebut? Tugas kita hanyalah menunjukkan jalan menuju Cirebon. Apakah dia akan menerima arahan kita atau tidak, itu urusan dia. Betapapun sesatnya Ahmadiyah dilihat dari akidah Sunni, mereka tetaplah organisasi yang memiliki legalitas dan dasar hukum. Dan sebagai negara hukum, hendaknya segenap warga negara berperilaku dan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak main hakim sendiri, apalagi dengan jalan kekerasan. Kekerasan yang mengatasnamakan Islam dapat menimbulkan citra buruk Islam dimata dunia sebagai agama penebar teror dan anarki. Apalagi kita bangsa Indonesia sejak dulu terkenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi toleransi. Dan kita memiliki Bhinneka Tunggal Ika, sebagai pijakan hidup bersama secara rukun dan damai di dalam perbedaan-perbedaan. Sudah banyak contoh negara-negara lain belajar kepada kita dalam hal mengelola perbedaan. Sering dikatakan dalam perbandingan bahwa negara-negara Arab adalah satu bangsa dan satu bahasa (bangsa dan bahasa Arab) namun mereka terpecah menjadi puluhan negara. Sebaliknya, bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa dan bahasa, namun bersatu di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini merupakan anugerah dan rahmat Allah SWT yang harus kita syukuri dan pelihara bersama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar